Alamat Jelas

Dua Gadis Lesbi Yang Seksi

Dua Gadis Lesbi Yang Seksi

Beginilah cerita seks sejenis ini bermula, Fenita menghempaskan pantatnya di sofa lalu duduk bersila sambil menenggak air putih dari gelasnya.

“Udah selesai belum?” tanyanya pada Cinta yang duduk di lantai mengerjakan soal-soal latihan matematika di meja ruang tamu rumah Fenita.

“Dikit lagi kok,” jawab Cinta tanpa mengangkat wajah dari buku-buku di depannya.

Fenita mengamati wajah Cinta yang serius menyelesaikan tugasnya. Walaupun berambut pendek cepak seperti lelaki, namun Cinta tetap tak bisa menyembunyikan kecantikan wajahnya, yang ditunjang oleh tubuhnya yang langsing dengan sepasang buah dada yang cukup besar, berkembang lebih cepat daripada para gadis kelas 1 SMP sebayanya.

Fenita memang punya alasan tersendiri bersedia mengajari Cinta matematika di rumahnya menjelang ulangan umum ini. Walaupun menjadi incaran banyak cowok di sekolahnya, tak satu pun mendapat sambutan dari Fenita.

Pasalnya gadis cantik berambut panjang yang baru saja berkembang remaja dan mulai mempunyai hasrat seksual ini ternyata tak tertarik kepada lawan jenis, ia lebih menyukai berdekatan dan bersentuhan dengan sesama gadis.

Saat Cinta, adik kelas yang memang sudah lama ia sukai ini meminta Fenita yang memang terkenal paling pintar di antara murid-murid kelas 2 untuk mengajarinya matematika, Fenita tak menyia-nyiakan kesempatan Emas ini.

“Udah nih!” tukas Cinta mendadak, menyentakkan Fenita dari lamunannya.

Fenita menatap Cinta yang mengacungkan buku di depannya sambil tersenyum, lesung pipitnya tercetak begitu dalam di pipinya yang putih mulus itu, membuat wajahnya menjadi semakin menggemaskan. Sambil menyambar buku itu, Fenita membuang jauh-jauh pikirannya yang melayang ke mana-mana,

“Sini gue periksa!” tukasnya.

Hampir selesai Fenita memeriksa pekerjaan “muridnya” ini ketika mendadak ibunya muncul di ruang tamu menjelaskan bahwa ia akan menyusul ayah Fenita ke kantor sambil membawa adik Fenita yang masih kecil, lalu dari sana langsung pergi ke Sukabumi karena ada saudara mereka yang sakit keras.

Fenita diminta menjaga rumah baik-baik bersama Iroh, sang pembantu rumah tangga. Telah terdidik mandiri sejak kecil, Fenita tak merasa berat dengan keadaan ini. Tak lama, ibu dan adiknya pergi naik taksi dan Fenita pun menyelesaikan memeriksa latihan Cinta.

“Lumayan, cuma satu yang salah."

Lu cepet ngerti juga ya, Cin?” kata Fenita. Cinta tersenyum malu-malu mendengar pujian ini, lalu pamit untuk pulang karena hari sudah menjelang malam.

“Eh, jangan dulu dong! Emank yang salah ini nggak mau dikoreksi dulu? Sekalian deh gue jelasin kesalahannya, biar lu ngerti,” kata Fenita.

“Tapi entar gue pulang kemaleman, Fen,” jawab Cinta bingung.

“Gini aja. Lu telepon aja nyokap lu. Bilang lu nginep di sini malem ini. Sekalian nemenin gue,” balas Fenita. Walaupun nada bicaranya biasa saja, dalam hati Fenita sangat berharap Cinta menyambut usulnya ini.

“Kalo dikasih, yaa?” jawab Cinta membuat Fenita girang.

Cinta yang mengagumi kakak kelasnya yang cantik dan pintar ini sebenarnya memang senang diajak menginap. Maka ia pun menelepon ke rumahnya dan ternyata diizinkan untuk menginap. Dengan gembira, Fenita merangkul leher Cinta, dan mengajaknya ke meja makan untuk makan malam. Lengannya jatuh dengan santai di dada Cinta selagi mereka berjalan.

Walau tampak santai, sebenarnya Fenita sangat berdebar-debar merasakan buah dada lembut adik kelasnya ini bergesek-gesek dengan tangannya. Tapi apa lacur, jarak tak jauh membuat Fenita terpaksa melepas rangkulannya. Selesai makan, mereka pun melanjutkan pelajaran dengan serius, hingga Fenita pun melupakan sensasi gairah singkat yang sempat ia rasakan.

“Udeh dulu ye, Fen?” pinta Cinta setelah sekitar 1,5 jam belajar,

“Otak gue udeh butek nih!” lanjutnya setengah memohon.

“Iya deh. Gue juga udah capek,” jawab Fenita,

“Yuk ah!” katanya sambil berdiri membereskan buku-buku di meja makan.

Mereka beranjak ke kamar Fenita dan Cinta langsung menghenyakkan tubuhnya di ranjang sementara Fenita sendiri duduk di kursi meja belajarnya. Mereka mengobrol tak tentu arah beberapa saat ketika akhirnya arah obrolan entah kenapa mulai menyinggung ke arah yang sensitif.

“Ooh, jadi lu udah mens?” kata Fenita, lalu dilanjutkan,

“Jadi udah doyan cowok dong?”

“Tapi gue masih males cari pacar. Cowok-cowok pada kasar sih! Nggak demen gue!” balas Cinta.

Fenita yang merasa mendapat angin langsung mengarahkan pembicaraan.

“Lha, gue kirain toket lu gede karena sering dipegang-pegang ama pacar lu.”

“Enggak ajaa. Ini Emang dari sononya begini,” jawab Cinta sambil menatap buah dadanya,

“Kayaknya sih Emang keturunan, keluarga gue yang cewek toketnya Emang gede-gede.”

Fenita yang mulai berdebar-debar dengan arah pembicaraan ini merasa mendapat jalan dan terus menekan. Ia membuka kaosnya, menampilkan mini set menutupi buah dadanya yang kecil, walaupun tampak mulai tumbuh.

“Kayaknya toket gue nggak gede-gede deh,” ujarnya sambil meloloskan mini set dari dadanya, menampilkan putingnya yang berwarna coklat muda,

“Gue pengen segede punya lu, Cin.” Cinta terhenyak melihat kakak kelasnya dengan santai bertelanjang dada di depannya.

Seumur hidup ia belum pernah melihat wanita telanjang, bahkan ibunya sendiri.Fenita melanjutkan serangannya.

“Coba deh lihat toket lu.” Cinta semakin terbelalak.

“Ah, malu ah gue!”

“Idih, ngapain malu lagi! Kan nggak ada cowok,” tukas Fenita,

“Ayo buka aja.” Agak bingung namun bangga dengan perhatian sang kakak kelas, Cinta pun akhirnya meloloskan kaos dari tubuhnya, menampilkan BH putih yang menyembunyikan buah dadanya.

Fenita beranjak ke ranjang dan duduk di belakang Cinta, langsung meraih dan melepaskan kait BH Cinta.

Wajah Cinta bersemu merah, apalagi saat Fenita melepas BH-nya lalu menarik lengannya, membalikkan badannya hingga kini mereka duduk berhadapan di ranjang, sama-sama bertelanjang dada.

Cinta tertunduk sementara Fenita merasakan darahnya berdesir menyaksikan pemandangan indah sepasang buah dada berukuran 34 di hadapannya ini.

Fenita menelan ludah berusaha mengendalikan pengalaman seksual pertamanya ini. Ia melihat wajah Cinta yang menghindari kontak mata dengannya.

“Em, lu kok malu sih? Toket lu bagus lagi.” Cinta melirik Fenita,

“Segini sih kecil, Fen. Kakak gue pake BH nomor 36B.”

“Ya dia kan udah kuliah,” tukas Fenita,

“Untuk usia lu, toket lu tuh udah gede.” Wajah Cinta semakin memerah dengan perasaan malu bercampur bangga akan pujian kakak kelasnya yang cantik ini.

Sementara di lain pihak, Fenita sendiri semakin berdebar-debar dan memberanikan diri melanjutkan eksperimen seksualnya.

“Gue pegang, ya?” pinta Fenita sambil menatap Cinta. Gadis manis berambut cepak ini ternyata masih belum berani menatap Fenita dan tak memberi jawaban apa-apa.

Fenita menganggap Cinta tak menolak dan segera meraih dada adik kelasnya ini. Cinta menggigit bibir.

“Hi hi hi hi hi..” Cinta terkikik saat Fenita mengelus-elus buah dadanya dengan jantung berdebar-debar,

“Geli, Fen!” lanjut Cinta lagi.

“Gue mau ngerasain juga dong!” tukas Fenita sambil meraih tangan Cinta dan menuntunnya ke arah dadanya.

Cinta kembali menggigit bibir, namun tak memberikan perlawanan. Tangannya menyentuh puting Fenita dan ia pun menggerakkan tangannya berputar-putar meraba buah dada Fenita. Cinta terpesona saat ia melirik wajah kakak kelasnya ini dan tampak Fenita memejamkan mata sambil menggigit bibir. Tampak sekali bahwa Fenita sangat menikmati sentuhannya.

“Enak ya, Fen?” tanya Cinta setengah bingung, Fenita hanya menganggukkan kepala tanpa membuka mata,

“Coba lu raba gue lagi dong,” pinta Cinta penasaran.

Kedua gadis itu pun saling meraba buah dada masing-masing beberapa saat. Tampak Fenita sangat menikmati sensasi seksual pertamanya ini. Kulit telanjang mereka sama-sama tampak merinding. Fenita melepaskan tangannya dari dada Cinta, lalu menghela napas panjang, menikmati dengan sepenuh hati rangsangan gairah pertamanya ini, sementara Cinta kembali terkikik geli.

Fenita bangkit dan menarik lengan Cinta agar mengikutinya berdiri.

“Lu mau tahu nggak rasanya kalo pacaran ama cowok?” tanya Fenita yang membuat Cinta bingung tak mengerti. Fenita melanjutkan,

“Gue juga belom pernah. Kita cobain yuk?!” Cinta semakin tak paham maksud Fenita, namun diam saja saat Fenita membungkukkan badannya dan langsung mengulum puting Cinta dengan lembut.

Cinta tersentak dan sontak mundur sambil mendorong kepala Fenita,

“Gila lu, Fen! Geli lagi! Lihat tuh gue sampe merinding!” tukas Cinta menunjukkan seluruh kulit tubuhnya yang mCintang berbintik-bintik merinding. Tetap dalam posisi membungkuk, Fenita melirik sang adik kelas sambil berkata,

“Namanya juga baru nyobain. Lu rasain aja dulu. Kata orang-orang enak.”

Fenita merengkuh pinggang Cinta dan menariknya mendekat, sementara Cinta yang kebingungan dengan pengalaman pertama yang baginya sangat aneh ini tak kuasa melawan. Dengan jantung berdebar penuh perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, Fenita kembali menempelkan bibir mungilnya yang basah itu pada puting Cinta dan dengan lembut memasukkan puting berwarna gelap itu ke dalam mulutnya.

Ia mengulum puting Cinta dengan lembut sementara Cinta menggigit bibir menahan rasa geli hebat yang kembali membuat seluruh tubuhnya merinding. Tak lama hingga Cinta merasakan rasa geli berubah menjadi perasaan berdesir yang tak ia pahami dan tak bisa ia jelaskan.

Setiap hisapan Fenita memberikan semacam perasaan tersetrum ringan yang nikmat dan lenguhan kecil terlepas dari bibirnya tanpa terkendali,

“Uhh..” Terkesiap mendengar ini, Fenita menghentikan hisapannya dan bangkit menatap Cinta,

“Enak ya, Cin?” tanyanya dengan polos dan tulus.

Cinta tak bisa menjawab, hanya menganggukkan kepalanya.

“Terus terang, gue juga suka banget ngisepin pentil lu,” lanjut Fenita lagi,

Gue nggak bisa jelasin perasaan gue, tapi pokoknya enak banget deh, terangsang banget.” Cinta kembali hanya mengangguk tanpa bisa bicara.

Kini Fenita menarik lengan Cinta dan mendudukkannya di pinggir ranjang, sementara ia sendiri berlutut di lantai,

“Gue terusin ya?” katanya lembut.

Tanpa menunggu jawaban dari Cinta, Fenita langsung kembali mendaratkan bibirnya di puting adik kelasnya yang kebingungan itu dan kembali mengulumnya, kali ini dengan gairah yang semakin bergelora dalam dadanya sendiri.

Dengan refleks, Fenita mulai memainkan lidahnya pada puting Cinta, membuat Cinta terpekik tertahan sambil mendadak kedua tangannya mencengkeram kepala Fenita. Namun kali ini Cinta tak mendorong Fenita. Sebaliknya ia malah seperti menarik kepala Fenita agar menghisap dan menjilati putingnya semakin keras.

Fenita sendiri sangat menikmati gairah yang semakin meledak-ledak dalam dirinya, ditambah reaksi Cinta yang membuatnya semakin terangsang, hingga lidah dan bibirnya semakin liar menjilati dan menghisapi puting Cinta.

“Ohh..” Cinta mendesah tanpa ia sadari.

Fenita pun melepas mulutnya dari buah dada Cinta, membuat kekecewaan dan rasa terkejut terbersit di wajah Cinta.

“Gantian dong, Cin,” kata Fenita,

“Kayaknya lu nikmatin banget. Gue kan juga mau ngerasain,” lanjutnya dengan perasaan penuh pengharapan dan antisipasi.

Cinta tentunya memahami ini walaupun merasa sangat aneh harus menghisap buah dada sesama wanita, namun setelah ia merasakan kenikmatan dan rangsangan gairah yang baru kali ini ia rasakan, ia tahu Fenita pasti akan merasakan kenikmatan yang sama.

Maka kini Fenita duduk di pinggir ranjang dan Cinta, masih tetap duduk di pinggir ranjang, membungkukkan badan dan mulai mengulum dan menghisap puting Fenita. “Ngghh..” lenguhan Fenita langsung meledak begitu bibir basah Cinta menghisap putingnya yang kecil dan segar itu.

Mata Fenita terpejam rapat sementara darahnya menggelegak oleh rangsangan dan kenikmatan hebat yang baru kali ini ia rasakan. Tahu kakak kelasnya menikmati ini, Cinta semakin rileks dan melanjutkan hisapan dan jilatannya pada puting Fenita, bahkan semakin lama semakin liar dan ganas, membuat Fenita terpaksa mencengkeram kepala Cinta dan merintih-rintih menahan gairah,

“Aaahh.. ahh.. Ciin.. Enak Cin..” Cinta sendiri tak menyangka akan menikmati pengalaman ini, memeluk tubuh Fenita dan semakin menjadi-jadi menghisapi puting Fenita.

“Ohh.. ohh.. ohh.. stop.. stop.. stop dulu Cin.. ohh.. Cin..” desah Fenita.

Bingung dan takut tindakannya salah hingga Fenita tak lagi menikmati ini, Cinta berhenti menjilati puting Fenita dan menatap kakak kelasnya yang terengah-engah dengan wajah merah padam penuh birahi ini,

“Kenapa, Fen? Nggak enak, ya?” tanya Cinta bingung.

“Gila lu! Nikmat banget lagi,” balas Fenita,

“Cuma gue berasa aneh nih, Cin. Kayaknya celana dalem gue makin basah deh.” Cinta terbeliak semakin bingung mendengar itu.

“Mungkin saking nikmatnya gue kencing dikit di celana kali,” lanjut Fenita sama-sama tak mengerti.

Fenita langsung bangkit berdiri dan melepas celana pendeknya, lalu meraba celana dalamnya,

“Tuh kan! Bener basah!” tukasnya lalu ia mencium tangannya yang baru ia pakai meraba selangkangannya itu,

“Tapi bukan kencing nih, Cin. Nggak pesing tuh!” ujar Fenita yang dilanjutkannya dengan meloloskan celana dalamnya hingga kini ia benar-benar telanjang bulat berdiri di depan Cinta.

Fenita memeriksa celana dalamnya dan mendapatkan sedikit lendir bening melekat di celana dalamnya.

“Ih, bener, bukan kencing, Cin. Lendir nih!” tukas Fenita sambil menengok ke arah Cinta dan terkejut melihat Cinta tampak duduk dengan gelisah sambil menggerak-gerakkan pahanya dengan mata tampak menerawang.

“Naah, lu juga basah ya, Cin?” sentak Fenita mengejutkan Cinta!

Serta merta Fenita menarik lengan Cinta hingga adik kelasnya ini berdiri di depannya, lalu dengan cepat Fenita melorotkan celana pendek sekaligus celana dalam Cinta yang masih terlalu kebingungan hingga tak melakukan perlawanan. Fenita menarik celana Cinta lepas dari pergelangan kakinya lalu kembali berdiri dan menunjukkan lendir bening yang juga terdapat di bagian dalam celana dalam adik kelasnya yang cantik itu.

“Tuh lihat, lu juga keluar lendirnya, Cin.” Cinta hanya bengong sementara Fenita semakin bergairah pada permainan seksual mereka yang ternyata berkembang jauh melebihi perkiraannya.

Dengan tinggi kurang lebih 160-an cm dan berat sekitar 45 kg, Fenita dan Cinta benar-benar tampak seperti sepasang gadis cilik, sama-sama telanjang bulat, berdiri berhadapan, menjelajahi pengalaman seksual pertama mereka yang membingungkan, namun menggairahkan sekaligus memberi kenikmatan hebat.

Fenita melempar kedua celana dalam ke lantai sambil mengulurkan tangannya ke selangkangan Cinta.

“Ngghh..” Cinta melenguh panjang selagi setruman gairah hebat meledak dalam dirinya saat jari Fenita menyentuh bibir vaginanya yang basah itu. Lututnya sontak terasa lCintas dan kepalanya terasa ringan melayang. Cerita Sex

Melihat tCintannya limbung, Fenita langsung merangkulnya dan menuntunnya kembali duduk di ranjang. Fenita sendiri duduk di samping Cinta, merangkul pundak Cinta dengan sebelah tangan lalu tangan satunya kembali melanjutkan meraba vagina Cinta.

Diiringi desah gairah Cinta yang begitu merangsang di telinga sang kakak kelas, Fenita menggosok-gosokkan jarinya dengan lembut di sepanjang bibir vagina Cinta yang semakin lama tampak semakin merekah, menampilkan daging merah muda segar dan basah sang perawan cilik.

“Hhh.. Fen.. ohh.. ngghh.. mmhh..”

Fenita semakin terangsang dan semakin berani.

Ujung jari tengahnya ia masukkan ke dalam vagina Cinta dan ia gerakkan menggesek daging segar vagina Cinta yang semakin lama semakin banyak mengeluarkan lendir bening itu dari bawah ke atas, hingga menyentuh klitoris Cinta yang mulai mencuat.

“Ngk! Ahh..” Cinta terpekik menggairahkan saat jari Fenita mencapai klitorisnya.

Fenita terkejut namun semakin terangsang melihat reaksi nikmat sang adik kelas. Wajah menggemaskan Cinta tampak semakin menggairahkan dengan mata terpejam menikmati sentuhan lembut Fenita. Mempertahankan kelembutan tekanannya, jari Fenita semakin cepat menggesek vagina dan klitoris Cinta, membuat Cinta mendesah dan merintih tak terkendali.

“Hhh.. hh.. ngh.. nghh.. mm.. mm.. ohh..” Sementara vagina Fenita sendiri semakin basah oleh lendir gairah, Fenita semakin terangsang melihat kenikmatan yang jelas-jelas ditunjukkan Cinta di wajahnya, ia pun semakin bergelora dan membungkukkan badannya dan kembali menjilati dan menghisap puting Cinta dengan liar dan bernafsu.

“Ohh.. ohh.. ohh.. Fenn.. gillaa.. ohh.. ennak Fen.. mmhh..”

“Sllrrp.. sllrrpp.. klcp.. klcp.. sllrrpp.. klcp.. mm.. klcp.. klcp..”

“Mmm.. mm.. mm.. nghh.. nghh.. Fenn.. Feeenn.. Fenn.. oh.. oh.. oh.. oh..” Desahan dan rintihan Cinta yang dipenuhi kenikmatan semakin terdengar liar dan tak terkendali, sementara Fenita yang semakin terangsang menggesekkan jarinya semakin liar di vagina perawan Cinta dan lidah dan bibirnya melahap puting Cinta dengan semakin bernafsu.

Cinta sendiri merasa gelombang kenikmatan memuncak dalam dirinya dan suatu perasaan seperti kesemutan merebak perlahan-lahan ke seluruh tubuhnya. Dengan nafas tersengal-sengal, Cinta mencengkeram erat kepala Fenita dan menekannya keras ke buah dadanya, lalu dalam suatu ledakan kenikmatan yang terasa bagaikan tak berujung, Cinta memekik tertahan saat perasaan kesemutan dalam tubuhnya meledak menjadi setruman kenikmatan puncak yang membuat cairan kental tumpah deras dari dalam vaginanya, membasahi jari Fenita yang masih liar menggesek-gesek vaginanya.

“Aaakk!” pekik Cinta sambil dengan refleks menjepit tangan Fenita dengan kedua pahanya, sementara tangannya mencengkeram kepala Fenita semakin keras dan kepalanya terdongak ke belakang dengan bola mata terputar ke belakang penuh kenikmatan.

Fenita yang berusaha menarik tangannya membuat jarinya kembali menggesek vagina Cinta dari bawah ke atas dengan gerakan sangat pelan, membuat Cinta kembali menikmati ledakan-ledakan kenikmatan yang terasa tak kunjung habis, mCintaksanya menggigit bibirnya.

Akhirnya tangan Fenita lepas dari jepitan paha Cinta disertai lenguhan panjang Cinta yang mengakhiri kenikmatan puncak orgasme pertamanya,

“Ohh..”

Fenita menatap penuh rasa terpesona dan bergairah saat Cinta ambruk terlentang di kasur dengan mata terpejam dan nafas terengah-engah. Ia menyusul berbaring di samping Cinta dan memeluk tubuh sang adik kelas, langsung dibalas pelukan erat Cinta yang sangat menikmati pengalaman seksual indah ini. Keduanya berpelukan erat, saling menikmati kenyamanan kehangatan tubuh yang lain.

Setelah beberapa saat, akhirnya mereka saling melepas pelukan dan Cinta tersenyum menatap mata Fenita. Rasa cinta dan kasih sayang mendalam tersorot jelas dari mata Cinta. Fenita mCintahami perasaan ini dan mengecup bibir Cinta dengan lembut. Mereka lalu terkikik geli bersama-sama, lalu kembali saling berpelukan erat dan Cinta berbisik di telinga Fenita,

“Fen, gue nggak ngerti perasaan gue saat ini.."

"Tapi rasanya gue nggak mau pisah dari elu. Gue rasanya sayaang banget ama elu.” Fenita tersenyum dan membalas bisikan sang adik kelas,

“Gue juga sayang banget ama elu, Cin. Lu jadi pacar gue aja, ya?” Walaupun tak pernah terpikir akan berpacaran dengan sesama wanita, namun Cinta tak bisa memungkiri perasaannya saat ini,

“Iya, Fen. Gue mau jadi pacar elu. Gue cinta ama elu.”

Mereka melanjutkan berpelukan erat dan hangat selama beberapa saat, lalu Cinta melepas pelukannya dan berkata pada Fenita.

“Gila, Fen. Lu bikin gue nikmat banget. Sekarang gantian ya, gue yang raba elu?”

“Iya dong, gue juga mau ngerasain kayak elu. Tapi jari lu jangan dimasukin ya? Kayak gue aja tadi, digesek-gesek aja. Gue takut keperawanan gue sobek,” balas Fenita.

Cinta hanya mengangguk dan tetap dalam posisi rebahan, ia membuka paha Fenita hingga mengangkang lebar, membuka vagina mudanya yang segar merekah, lalu mulai meraba-rabanya dengan jari tengahnya.

Tak memakan waktu lama bagi vagina Fenita untuk kembali basah penuh lendir gairah, apalagi saat Cinta mendaratkan bibir dan lidahnya, mempermainkan puting Fenita yang mungil itu. Desahan dan rintihan Fenita pun akhirnya meledak menjadi pekikan penuh kenikmatan saat orgasme yang liar dan lama, seperti yang dinikmati Cinta, bergejolak dalam tubuh mungil Fenita.

Dalam keadaan sama-sama telanjang bulat, Fenita dan Cinta berpelukan mesra dan penuh kasih sayang, hingga akhirnya mereka tertidur pulas hingga pagi.

Ngentot dirumah Sakit

Ngentot dirumah Sakit

Tintin memandang wajah kekasihnya yang terlelap di ranjang. Hatinya hancur. Bukankah lelaki ini telah menjadi penopang dalam setiap pergumulan hidupnya? Betapa dulu Agus yang menyelamatkannya dari kekacauan semasa SMA, yang mendorongnya untuk terus kuliah, yang memberi semangat hidup dan harapan serta impian?

Kini, Tintin sudah tingkat III, sudah menjadi leader besar di sebuah MLM ternama, sudah berubah dari seorang gadis yang nampak udik menjadi cantik jelita — keluar semua pesona keindahannya, melebihi foto model yang di majalah. Tetapi Agus, dia terbaring. Terdiagnosa leukimia akut. Dia yang telah mengubah itik menjadi angsa cantik, nampak pucat. Dadanya turun naik, seperti masih menyimpan sisa-sisa tenaga. Kata dokter, waktunya tidak lebih dari 3 bulan lagi.

Harusnya, Tintin pergi saja. Agus bahkan sudah memintanya untuk putus, walaupun ia mau terus membawa cinta sampai mati. Agus tidak mau Tintin bercinta dengan orang yang mau mati! Hati Tintin terluka. Ia sudah terlalu dalam mencintai Agus, dan kini ia mengalirkan air mata, karena orang yang dicintainya…akan mati. Hilang, lenyap dalam masa muda. Baru 22 tahun. Tintin baru 20 tahun. Tetapi harus terpisah selamanya. Hidup ini kejam!

“Entin?” Agus berbisik. Ia membuka matanya, agak menyipit karena hari sudah siang, sudah menunjukkan jam 11 lewat.

“Gus… baru bangun?”
“He eh… wah, gue tidur kayak bayi ya?”
“Rasanya sakit, Gus?”
“Nggak sih… cuman ngga bisa tidur. Gue…”

Tintin tidak bisa menahan dirinya lagi. Dari duduk di tepi ranjang, ia terus memeluk Agus. Ia menangis.

“Gus… aku kangen sama kamu. Aku cinta kamu Gus…”
“Entin…”

Titin tidak membiarkan Agus berbicara. Ia melingkarkan tangannya di leher Agus. Mencium bibirnya. Tintin memberikan bibirnya, lidahnya yang merah dan lancip membasahi bibir Agus. Menghangatkannya. Lidah mereka saling berpautan, melingkar, mengusap. Merasakan bagian yang paling intim.

Saat itu, Tintin tidak menahan dirinya lagi. Selama ini, ia yang paling keras menjaga hubungan pacaran mereka, karena ingat pesan mendiang ibunya untuk menjaga kesucian sampai hari pernikahan. Lima tahun lalu, ayah dan ibu Tintin meninggal dalam kecelakaan mobil, meninggalkannya dengan seorang adik laki-laki yang sekarang naik kelas 3 SMU. Tintin hancur, tetapi Agus menguatkannya…sampai sekarang. Selama itu, Agus sangat sopan dan tidak pernah memaksakan kehendak. Padahal Tintin tahu betapa Agus berhasrat, sama seperti laki-laki lainnya.

Tintin dikaruniai wajah yang cantik, putih, mata yang lebar dan bibir yang indah. Rambutnya hitam tergerai sebahu. Tubuhnya langsing, 165 cm, juga atletis karena sejak kecil Tintin senang berlari-lari, menjadi tim lari SMA, dan juga masuk tim atletik kampus. Dadanya membulat, tidak terlalu besar, tetapi bentuknya indah sekali. Semua laki-laki memandangnya dengan hasrat, tetapi Agus begitu baik menjaganya. Tidak pernah satu kalipun Agus melakukan hal yang menyimpang, tidak pernah meremas, walau kadang-kadang ia menyentuh buah dada yang ranum ini.

Namun sekarang, Tintin mendadak ingin, sangat ingin untuk disentuh. Selama pacaran, sebenarnya Tintin juga mendambakan saat romantis dimana ia bisa merasakan sentuhan lebih dari sekedar rabaan halus, tetapi semua itu ditahannya. Buat nanti, pikirnya. Hanya, sekarang tidak ada lagi ‘nanti’. Agus tidak akan hidup lebih lama lagi, bukan? Tidak ada lagi larangan. Tidak ada lagi batasan.

Tintin meraih tangan Agus, membawanya ke dada. Ia meremas dadanya melalui tangan Agus, yang kini mulai aktif dengan sendirinya. Ahhh… Tintin mendesah. Betapa nikmatnya! Ia merasakan, cinta yang tadinya hanya di angan-angan menjadi kenyataan, dalam remasan, dalam kehangatan. Dalam pelukan…

Mendadak, Agus berhenti.

“Entin, jangan… sudah, sudah… ini nggak benar…”
“Kenapa? Aku cinta sama kamu Gus.”
“Justru itu… gue sangat cinta sama kamu, Tin. Jangan berikan diri kamu sama orang yang mau mati.”
“Aku tidak peduli. Aku menginginkannya… Aku mau!”

Agus menggelengkan kepala. Seperti seorang yang lemas dan kehilangan semuanya. Padahal, tadi Agus begitu bergairah. Terangsang. Tintin masih bisa membaui aroma kelamin di udara. Masih merasakan kemaluan lelaki ini mengeras di balik celana.

“Gus, lihat…” kata Tintin, “aku bisa memilih, aku ini buat siapa… aku milih kamu, Gus.”

Agus terdiam. Mendadak, ia melihat kemarahan dalam suara Tintin. Ketegasan, sesuatu yang jarang didengarnya dari gadis yang lembut dan cantik ini.

Tintin berdiri di samping ranjang, tepat di bawah sorotan sinar matahari yang masuk dari langit-langit. Dengan tenang tapi pasti, Tintin melepaskan kancing blusnya satu demi satu. Lepas semua, Tintin meloloskan blus itu, jatuh ke lantai. Berikutnya ia melepaskan kaus singlet putih, memamerkan dadanya yang ditutup oleh BH krem muda, yang kelihatan sedikit kekecilan untuk dadanya yang membusung.

Kemudian, Tintin melepaskan kait celana jeansnya, melorotkan resletingnya, dan celana panjang biru itu terjatuh di bawah kakinya yang jenjang. Tintin maju dua langkah, mendekatkan dadanya ke arah wajah Agus. Ia melepaskan BH nya, tahu-tahu jatuh juga. Agus ternganga. Seumur hidup, 6 tahun pacaran dengan Tintin, inilah pertama kalinya ia memandang buah dada gadisnya. Keindahannya, melebihi gambar-gambar erotis yang ada di internet. Tetapi itu belum selesai.

Tintin membungkuk, melepaskan juga celana dalamnya dengan satu kali gerakan, menjatuhkan cd krem itu di bawah ranjang. Gadis itu kini bertelanjang bulat, nampak seperti berpendar karena seluruh tubuh itu begitu halus, begitu lembut, tanpa setitik noda. Nampak kencang, halus… sampai Agus tidak bisa menahan tangannya mengelus leher Tintin yang jenjang.

“Gus…aku memberikan ini kepada siapa aku mau berikan… aku memilih kamu, bukan orang lain. Aku terlalu cinta sama kamu… aku mau kamu mendapatkan aku, membawa aku sampai mati.

Dengan begini, aku tidak akan pernah lepas dari kamu Gus… aku memberi kamu kesempatan untuk membuat aku jadi wanita. Aku ingin kamu mengambilnya… boleh ya Gus?”

Kata-kata terakhir Tintin terdengar memelas. Agus tidak bisa menjawab, ia hanya mengangguk. Tangan Agus terjulur, ia memeluk gadis telanjang bertubuh indah itu, mendekapnya, menciumnya. Tintin merasakan getaran cinta mengguncangkan seluruh syarafnya.

“Ohhh… Agus… aku cinta sama kamu…”

Tangan Tintin seperti kesetanan membuka t-shirt Agus, melemparkan selimut yang menutupi kakinya, dan langsung menarik lepas celana pendek itu. Gadis ini memandang ke bawah, ke batang kemaluan yang merah mengeras. Tintin tersenyum memandang tongkat lelaki yang berurat itu. Tongkat yang akan menyatukannya, menghujam dalamnya. Tintin terpesona mengamati penis Agus.

“Oohh… panjang ya… 11 centi kira-kira… dan lebarnya….” Tintin melingkarkan telunjuk dan ibu jarinya. Ia kemudian menggenggam penis itu, terasa lembut dan hangat di tangannya. Di ujung kemaluan, keluar cairan lendir bening dan licin. Inilah pertama kalinya Tintin menjamah kemaluan laki-laki, dan ia sudah merasa kehangatan merayap memasuki vaginanya sendiri yang menjadi basah.

Tintin merangkak naik ke atas Agus, ia mengangkang di atas kekasihnya. Mereka berciuman, hangat, cepat. Tintin meremas-remas rambut Agus, sementara tangan Agus meraba, mengelus, seluruh bagian belakang Tintin mulai dari bahu sampai ke pantat. Meremas kedua pantat yang putih membulat itu. Tintin menggelinjang, karena pantatnya terdorong ke bawah maka ujung penis itu mengenai bibir vaginanya.

Pertemuan penis dan vagina membuat nafas Tintin memburu. Ia seperti bisa merasakan kemaluannya merekah terbuka, seperti berseru-seru ingin diserang, ingin dimasuki, ingin digagahi. Berkedut-kedut, Tintin merasakan belahannya menjadi basah sekali, membuat gerakan di bawah itu menjadi semakin licin. Maka, gadis itu menggerakkan pinggulnya, sehingga kepala penis Agus mengosok-gosok bibir kemaluannya.

Setiap kali kepala kemaluan Agus mengenai kelentitnya, Tintin seperti kena strum, mengejang, mendesah-desah di telinga Agus. “ooohhh ohhh ohhh” Suara itu seperti memberi semangat, karena sepertinya batang kemaluan itu sedikit lebih panjang, sedikit lebih keras, sedikit lebih merah.

Tintin tidak tahan lagi. Ia mengangkang selebar-lebarnya, sambil menurunkan tubuh ke bawah. Tangan Tintin meraih kemaluan Agus untuk diarahkan ke kemaluannya sendiri, lantas tubuhnya turun sehingga memasukkan kepala yang lebar itu ke antara bibir bawahnya. Tersingkap. Teregang. Penuh.

“uuhhh….”

Agus memejamkan matanya, merasakan ujung penisnya memasuki sebuah jepitan yang lembut, hangat, licin, sekaligus seperti menyedot masuk. Tintin mendorongkan tubuhnya lagi ke bawah.

Greg!

Penis itu tertahan oleh sesuatu di dalam liang vagina Tintin. Otomatis gerakan Tintin terhenti. Ia tahu apa yang akan terjadi.

“Tintin…”
“Agus… sekarang ya… ambil yah…”

Tintin menekan ke bawah, memaksakan penis itu masuk menerobos ke dalam. Ia merasakan sengatan nyeri, tetapi tidak seberapa dibandingkan perasaan aneh yang hebat menjalari tubuhnya. Seluruh indranya terfokus di liang kemaluannya, yang diregangkan oleh kemaluan laki-laki, menyatukan diri dengan melesak masuk ke bagian paling intim dalam wanita.

Ya, Tintin kini mejadi seorang wanita. Sampai seluruh penis yang panjang itu memasuki tubuhnya, sampai bulu bertemu bulu, tulang bertemu tulang.

“Agus… aku cinta sama kamu.”
“Tintin… aku juga cinta kamu.”

Mereka berpelukan erat sekali, hampir lima menit, tidak bergerak, tidak berkata-kata, karena sekarang tubuh mereka sedang berbicara panjang dan lebar dan cepat. Merasakan seluruh kulit bertemu, dari atas sampai bawah, dan merasakan menjadi satu tubuh di selangkangan, yang terasa berkedut-kedut, menjepit kuat-kuat.

Akhirnya, Tintin menggerakkan pinggulnya. Ia mulai bergerak maju mundur, penis itu masuk dan keluar. Mula-mula sedikit. Lama-lama seiring dengan memburunya nafas, penis Agus bergerak cepat keluar masuk vagina Tintin yang licin, sempit… tidak ada lagi nyeri yang dirasa. Sebagai gantinya, ada perasaan melayang yang nikmat, dan bagian tubuh yang semakin menegang, mengejang.

Minta pelepasan.

“AGUUUSS!!!” Tintin menyerukan nama kekasihnya, ketika tubuhnya bergetar dalam orgasme hebat, yang pertama kali, yang luar biasa keras sampai menyesakkan nafas. Agus juga tidak bisa bertahan. Ia menyemburkan seluruh mani di dalam vagina Tintin. Mengedut-ngedut, mengejan berkali-kali, tubuh mereka mengguncangkan seluruh ranjang.

Lima menit kemudian, ombak besar itu mereda. Agus tersenyum memandang kekasihnya, pasangannya, belahan tubuhnya, dengan senyum sedih. Tintin lantas menangis terisak-isak sejadi-jadinya di dada bidang Agus. Dalam pelukan cinta. Terasa indah, sekaligus menakutkan…karena tahu ini tidak bisa dinikmati lama-lama.

Tintin merasakan penis Agus mengecil, merosot keluar. Ia bangkit, melihat betapa darahnya membasahi sprei ranjang Agus, bercampur dengan lendir mani.

“oh… lihat apa yang kita lakukan.” kata Tintin, sambil mengambil tissue di atas meja. Ia mengelap ranjang dengan hati-hati, membersihkan noda merah itu sebisanya. Ia lantas menyeka vaginanya sendiri yang licin, menghilangkan bercak merah di antara pahanya yang putih mulus.

Pemandangan ini membuat Agus bangkit kembali. Pengalaman ini begitu luar biasa baginya. Ia lantas bangun dari ranjang, berdiri memeluk Tintin yang telanjang itu, mencium bahunya, lehernya, buah dadanya. Tintin kembali bergairah, sambil berdiri ia mengelus seluruh tubuh Agus yang tegap kekar. Sampai akhirnya, tangannya kembali sampai ke batang kemaluan yang kembali telah mengeras dan sampai ukuran penuhnya.

Kali ini, Tintin yang berbaring di ranjang. Ia menarik kakinya ke atas, kedua tungkai indah itu terlipat, mengangkang, memperlihatkan bibir kemaluan yang masih basah, merekah terbuka akibat percintaan sebelumnya.

“Gus… masukin sini cepetan…”

Agus menindih Tintin dari atas, kepala penisnya disorongkan masuk, lantas ditekan amblas.

“Ohhh… pelan-pelan Gus…”

Agus berhenti ketika penisnya masuk sampai ke pangkalnya, terasa jepitan yang luar biasa enak itu kembali melingkupi diri. Kedua kaki Tintin menjepit Agus kuat-kuat, tangan Tintin melingkari tubuh Agus, dan mereka mulai bergerak. Dalam dekapan, Agus sebisanya maju mundur, keluar masuk, dan keluar masuk semakin cepat. Tidak ada lagi rasa sakit. Tidak ada lagi hambatan. Tintin menginginkannya. Agus menginginkannya.

Mereka seperti berlomba, kesetanan saling meremas, saling memijat, saling menjepit. Sampai 10 menit kemudian, kembali keduanya mencapai puncak, kali ini Tintin tidak menahan diri untuk menjerit, dengan suara seorang wanita yang mencapai puncak birahinya, melengking memenuhi seluruh penjuru ruang tidur apartemen itu.

Selama seminggu berikutnya, Tintin selalu berusaha menyediakan waktu untuk bercinta dengan Agus, setiap hari, pagi dan sore. Sepertinya, Agus sepenuhnya sehat dan kuat, mereka mencoba berbagai gaya, mulai dari ranjang, sofa, sampai di dapur juga.

Tetapi, kesehatan Agus memburuk dengan cepat. Dua minggu kemudian, ia hampir-hampir tidak bisa ereksi. Mereka hanya tidur bertelanjang saja, merasakan kulit bersentuhan dengan kulit, Tintin menghangatkan tubuh Agus yang mulai merasa kedinginan.

Sebulan kemudian, kondisi Agus menjadi parah sehingga ia tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Tintin menyuapi kekasihnya, suaminya dalam tubuh dan jiwa, merawati dengan setia dari pagi sampai malam. Ia tidak lagi pulang ke rumah, karena jiwanya terpaut di sini, di ranjang ini, bersama lelaki ini.

Dua bulan kemudian, Agus harus dibawa ke rumah sakit karena kondisinya terlalu parah. Tintin juga terus menemaninya, memberi hiburan, menceritakan hal-hal lucu sambil menitikkan air mata… menceritakan impian.

Malam itu, mendadak Agus seperti mendapatkan kesehatannya kembali. Segar lagi. Satu hal yang diinginkannya, ia kangen untuk bersetubuh dengan Tintin, seperti waktu pertama. Maka Tintin mengunci pintu, melepaskan seluruh pakaiannya, dan sekali lagi mengangkang di atas Agus, di ranjang rumah sakit, dengan kerinduan yang sangat besar merasakan penis lelaki itu memasukinya, sampai menyemburkan seluruh maninya. Tetapi, segera setelah itu Agus menjadi sangat lelah, sehingga setelah memakai baju ia langsung terlelap.

Seminggu kemudian, Agus meninggal dalam pelukan dan isak tangis Tintin. Ia tidak mau dihibur, tidak mau apapun juga. Tintin sudah mau mati, berharap untuk segera meninggalkan dunia ini.

Sampai waktunya, Tintin sadar bahwa ia tidak lagi mendapatkan mensnya. Tintin lantas pergi ke apotek membeli test-kit, dan mendapatkan dirinya telah hamil. Seharusnya hal ini mengejutkan, atau menakutkan, tetapi justru Tintin mendapatkan kembali semangatnya. Ia mau makan lagi, mau mandi lagi, dan meneruskan lagi kehidupannya. Ia tidak malu orang tahu bahwa dirinya hamil, perutnya membunting membesar. Waktu orang tanya, ia hanya menjawab,

“Aku cinta kepada Agus.”

Aku diperkosa Guru Sendiri

Aku diperkosa Guru Sendiri

Hari ini hari minggu, di siang hari yang panas di sudut kota Surabaya, aku sedang berkejaran dengan waktu dan bus kota. Peluh mengalir membasahi wajah dan baju, dalam hatiku aku bertekad untuk tidak datang terlambat hari ini.

Penting bagiku untuk datung tepat waktu hari ini, sebab aku tidak ingin mengecewakan dosen yang sudah berulang kali memarahiku. Entah kenapa hari ini semuanya tampak tidak bersahabat denganku. Terminal bus yang terlalu ramai dengan orang-orang seolah-olah mengatakan bahwa aku harus datang lebih awal lagi jika tidak ingin terlambat.

“Aku akan datang tepat waktu hari ini atau tamatlah sudah semua persiapan pada hari ini,” selorohku dalam hati.

Bus yang kutunggu akhirnya datung juga, namun kayaknya hari ini lebih penuh dari biasanya, aku bergegas berdesakan dan masuk ke dalam bis tanpa ac yang baunya bercampur-campur antara bau keringat yang tengik dan bau penumpang yang tidak mandi hari ini kurasa. Tapi dengan membulatkan tekad akhirnya aku berhasil naik dan seperti sudah di duga aku tidak mendapatkan tempat duduk hari ini.

“Hmm, pasti ada pria tampan yang mau memberikan tempat duduk kepada gadis manis hari ini,” pikirku samil menoleh kiri dan kanan mencari pria yang dimaksud.

Namun akhirnya aku harus berdiri sampai bus berhenti di depan falkutasku. Oh My God! Aku terlambat lagi hari ini. Kali ini keterlaluan sekali terlambat sampai 30 menit, mana hari ini ada tes kecil lagi. Aku langsung berlari kencang setelah membayar ongkos bus ke pak kondektur.

Rok lipit-lipit warna senada yang kupakai berkibar-kibar seolah ingin protes dengan kecepatan lariku. Ada seorang mahasiswa yang hampir kutabrak langsung berteriak “Sinting!!” tapi aku tak pedulu dan terus berlari. Payudara ku yang berukuran 36 B, dibungkus dengan BH merah merek Pierre Cardin tampang terguncang-guncang naik turun dengan semangatnya, ya memang potongan BH sedikit rendah dan kemeja yang kupakai agak longgar sehingga aku merasa seperti BH nya mau melorot kebawah.

Aku terus berlari dan menaiki anak tangga ke ruang kuliahku yang di lantai 4. Aku berkuliah di sebuah universitas swasta yang cukup punya nama di Surabaya. Sambil terus berlari aku kembali berpapasan dengan beberapa cowok yang sedang duduk-duduk di tangga sambil bercakap-cakap. Mereka bersuit-suit melihat aku berlari, bagiku itu justru menambah semangatku. Dengan Sepatu hak tinggi berwarna hitam menyala setinggi 6 cm tidak mengurangi kegesitan ku. Aku sudah berada di ujung tangga ketika kusadari para cowok kurang ajar itu mungkin mengintip dari bawah tangga.

“Sialan!!” umpatku dalam hati, mereka pasti tahu aku mengenakan celana dalam merah hari ini.

Akhirnya dengan segala perjuangan aku akhir sampai ke depan ruangan kelas, aku kemudian mengetok pintu, masuk dan langsung ke bangku yang masih kosong di belakang.

Aku masih terengah-engah ketika Pak Didit, demikian nama dosenku, meneriaki namaku dengan keras.

“ Jane!!, KAMU TAHU INI SUDAH JAM BERAPA???,” aku sampai meloncat kaget mendengar teriakan itu.

“AYO KAMU KEDEPAN DULU SINI,” aku mengumpat dalam hati kemudian dengan berat langkah menuju ke depan kelas.

Aku berdiri di depan kelas menghadap anak-anak yang tiba-tiba menjadi ramai seolah di depan kelas ada sesuatu yang aneh. Pak Didit menatapku dengan dingin, matanya seolah ingin menjelajahi tubuhku, napasku masih sangat terengah-engah dan akibatnya payudaraku bergerak naik turun seiring dengan napas ku. Kemeja putih yang aku pakai memang agak longgar tapi terbuat dari kain yang cukup tipis, sehingga samar-samar pasti terlihat warna BH ku yang menyolok, ah tapi cuek sajalah. Aku langsung mengecek ke bawah untuk melihat apakah pakaian yang aku pakai harus ditata jika tidak semestinya,

“Semuanya tampak rapi,” pikirku cepat.

“Haah, ternyata ada noda keringat basah yang tampak seperti bunga di kedua sisi ketiakku. Shit!!” kataku dalam hati.

“Maaf Pak Didit hari ini saya terlambat karena bus sangat lama datangnya,” aku berkata cepat namun berusaha untuk tidak memicu kemarahannya.

“Ya, saya tahu tapi hari ini kita sedang tes, dan kamu tahu aturannya kan bahwa ikut tes ini merupakan kewajiban sebelum UAS atau kamu tidak akan lulus pelajaran saya jika tidak mengikuti tes ini,” jelas Pak Didit tegas.

“Kamu setelah kuliah ini harap menemui saya di kantor, kamu harus ikut tes susulan atau kamu tidak akan pernah lulus,” lanjutnya.

“Ya pak,” jawabku cepat.

Mata kuliah Pak Didit merupakan suatu mata kuliah yang sangat penting untuk mengambil mata kuliah lain karena tercantum hampir dalam setiap prasyarat mata kuliah lain. Dengan tidak lulus mata kuliah ini kemungkinan semester depan aku hanya dapat mengambil 1 mata kuliah saja yang lain semua terkena prasyarat.

“Aku anak yang bertekad baja, aku harus lulus mata kuliah ini!!,” tekadku dalam hati.

Pak Didit, umur 32 tahun, perawakan besar tinggi dan berkumis, kulitnya agak sawo matang tapi cukup putih untuk ukuran lelaki. Statusnya sudah cerai dengan istrinya dan sekarang hanya tinggal sendirian di salah satu kawasan elit di Surabaya, sebenarnya Pak Didit orang kaya dia punya usaha sampingan Rumah Walet di beberapa tempat. Tidak jelas mengapa ia mau menjadi dosen yang bayarannya hanya beberapa juta sebulan. Yang jelas orangnya ramah dan punya banyak teman. Teman saya pernah memergoki pak Didit di salah satu pub elit bersama temannya setelah di tanyai katanya urusan bisnis.

Oh ya, namaku Jane, aku cewek berusia 20 tahun. Sekarang kuliah semester 3 jurusan ekonomi, tubuhku langsing tapi berisi. Rambutku sebahu dan lurus seperti iklan yang di re-bonding itu lho. Banyak orang bilang aku cantik dan bukan saja orang hanya bilang, tapi aku sendiri bekerja paruh waktu sebagai SPG di berbagai tempat dan juga sebagai pagar ayu.

Pokoknya untuk urusan pamer wajah dan badan aku pasti di ajak. Bukan apa apa sebenarnya, tetapi memang itulah kelebihanku. Aku punya banyak teman cowok maupun cewek aku orang yang pintar bergaul atau memang aku cantik sehingga banyak di kerubungi cowok yang sekedar senang atau memang menginginkan sesuatu, bukan hanya cantik lho, tapi juga seksi.

Dadaku cukup padat berisi dan sesuai dengan postur tubuhku yang tinggi 162 cm dan berat 50 Kg, Kukira itu ukuran ideal yang di inginkan setiap wanita. Walaupun aku orang nya sering berada dimuka umum tapi aku sebenarnya agak pemalu, aku tidak berani berbicara sambil menatap mata orang, hanya kadang-kadang aku harus PeDe karena di bayar untuk itu.

Tentu bukan hanya payudara ku saja yang indah, kulitku juga putih dan betisku mulus menantang setiap mata yang mampu menjelajahinya. Aku rajin merawatkan tubuh di berbagai salon kecantikan karena menurut bosku supaya lebih bernilai jual, entah apa maksudnya. Mungkin supaya penjualan produknya semakin besar atau supaya sering dipakai jadi SPG.

“Jane, hari ini bapak tidak sempat ke kantor lagi karena ada urusan penting yang tidak bisa di tunda. Kalau kamu betul pingin ikut tes ini, nanti hubungi bapak agak sore ya. Kalau lain kali bapak sudah enggak bisa kasih tes lagi, atau kamu mengulang aja tahun depan ya?” ucapan Pak Didit membuyarkan lamunan ku.

Ternyata di kelas tinggal aku sendirian. Entah sejak kapan bubar, kayaknya aku terlalu banyak melamun hari ini.

“Saya mau lulus semester ini pak, bagaimana kalau bapak tidak sempat nanti sore saja tes nya bahkan kalau di rumah bapak sekalipun saya bersedia yang penting bapak mau meluangkan waktu untuk saya” kataku gugup karena pikiranku baru terputus dan kacau.
“Kamu tahukan nomor HP bapak kan? Ya sudah nanti sore bapak tunggu ya,” Lanjut pak Didit cepat langsung bergegas pergi.

SubChapter 1b. Ketika semuanya di awali dengan ‘manis’

Sudah jam empat sore ketika rangkaian kuliah hari ini selesai, aku tidak sempat pulang lagi, sambil melirik jam guess di tangan kiriku, janjiku dengan Pak Didit adalah jam 4.15 aku harus bergegas sebelum terlambat lagi, tidak usah melapor ke rumah lagi tokh tidak ada orang di rumah ku. Aku tinggal sendiri karena aku sebenarnya bukan orang Surabaya, aku anak luar pulau, aku tinggal sendirian di rumah kontrakan kecil yang tetangganya pun aku tidak berapa kenal. Keberanianku tinggal sendirian semata karena tekadku kuliah di Surabaya. Ya aku memang cewek bertekad baja.

“Aku naik ojek sajalah ke rumah Pak Didit biar tidak terlambat” pikirku.

Benar juga tidak sampai 10 menit aku sudah berdiri di depan sebuah rumah mewah berlantai 2 Pak Didit juga kebetulan baru pulang sehingga kami sama-sama masuk ke rumah.

Pak Didit kemudian meminta waktu untuk mandi sebentar dan mempersilakan saya duduk di sofa berbulu putih yang tampaknya mahal. Begitu pak Didit hilang dari pandangan mataku aku berdiri dan melihat-lihat sekelililing.

Aku terkagum-kagum melihat koleksi lukisan pak Didit yang indah-indah. Tiba-tiba ada geraman di belakangku, entah dari mana datangnya tapi dua ekor doberman besar sudah ada di belakangku dalam jarak kurang dari satu meter.

Doberman-doberman tersebut cukup besar dan tinggi. Mereka mulai menggeram-geram dan maju perlahan. Aku takut sekali tapi aku tidak berani lari karena pasti di kejar dan bisa di gigit. Aku hanya maju ke dinding dan diam mungkin anjing itu akan menganggap aku bukan ancaman dan pergi.

Aku merasa mereka makin mendekat mungkin hanya 1/4 meter lagi. Aku ingin berteriak tapi takut mereka jadi tambah galak lagipula pak Didit kemungkinan tidak mendengar dari kamar mandi. Aku cuma menutup mata dan berharap yang indah-indah.

Dalam kegelapan tiba-tiba semua hening, anjing-anjing itu pasti sudah pergi, aku mencoba membuka mata dan menoleh ketika tiba-tiba terasa napas hangat di… Astaga!! di bagian atas belakang lutut. Salah satu doberman itu sudah begitu dekatnya sehingga napasnya dapat di rasakan pada kulitku yang mulus itu. Ia mulai menjilat-jilat bagian belakang pahaku, semakin lama semakin ke atas.

Aku mulai merasa geli tapi tidak berani bergerak sedikitpun, jilatan itu menjadi semakin liar seolah-olah pahaku ada rasanya, yah.. mungkin bau dari kemaluanku, dan keringat yang mengering. Aku pernah menonton TV yang mengatakan bahwa binatang suka tertarik dengan bau kelamin lawan jenisnya sebelum memulai hubungan seks. Jilatan itu semakin naik sampai ke sela-sela paha bagian belakang dan mulai mengenai celana dalamku.

“Ooohh, celana dalamku pasti basah nih” pikirku.

Ludahnya terasa sekali banyaknya dan hangat serta geli. Aku mulai merasa terangsang karena jilatan itu. Doberman tersebut semakin bersemangat. Kayaknya ia tertarik dengan celana dalam merahku karena ia sudah tidak menjilati paha lagi tapi sudah menjilat celana dalamku.

Kurasakan kemaluanku basah karena cairan kemaluanku sendiri deras mengalir seiring dengan ekstasi kenikmatan yang aku rasakan.

Aku tiba-tiba terpikir bagaimana kalau celana dalamku di korbankan saja ke anjing itu, tapi bagaimana dengan anjing satunya yang menonton bagaimana kalau ia mau juga tapi kayaknya, oh syukur lah, hanya tinggal seekor saja.

Aku memberanikan diri untuk mengangkat rok dan melucuti celana dalamku. Anjing itu menurut aja untuk menunggu seolah sudah tahu kalau celana dalam itu akan menjadi mainannya. Ia mundur dan membiarkan aku melucuti celana dalamku.

Celana itu meluncur turun dengan cepat dan kulempar yang jauh. Tak disangka anjing itu langsung mengejar celana dalam itu dan memberi aku tempat kosong dan waktu untuk lari. Aku langsung lari dan mencari tempat yang aman.

“Harus tempat yang tidak dapat di jangkau anjing tersebut,” Pikirku cepat.

Kulihat di kebun belakang ada bangunan menyerupai air mancur dan letaknya cukup tinggi tapi harus dipanjat sedikit. Aku langsung lari kesana dan memanjat lalu berdiri diatasnya. Akhirnya aman juga, begitu pak Didit selesai mandi aku langsung berteriak minta tolong. Anjing itu juga tampaknya sibuk dengan celana dalamnya, sudah hampir di telan dan di gigit-gigit.

“Harganya Rp 200.000, mati aku, baru beli lagi,” pikirku.

Tiba-tiba aku panik bagaimana menjelaskan semua ini ke pak Didit ya? Lagipula sekarang ia harus turun dibantu oleh pak Didit karena tidak mungkin dia meloncat ke bawah, Bagaimana kalau kelihatan dari bawah oleh pak Didit kalau aku tidak mengenakan celana dalam? Atau haruskan dia berterus terang saja tokh pak Didit juga akan tahu kalau aku tidak pakai celana dalam?

Tiba-tiba pak Didit muncul dari dalam rumah dan berkata “Lho Jane, kamu kok di atas sana?”
“Menghindari anjing bapak” jawabku.
“Anjingnya sudah bapak usir keluar ayo bapak bantu turunin kamu” kata pak Didit sembari maju mendekati.
“Saya bisa sendiri kok saya lompat aja” jawabku lagi.

Aku ogah ketahuan kalau enggak pakai celana dalam. Pak Didit bersikeras mau membantu aku turun jadi dia pergi mengambilkan kursi untukku. Akhirnya sampai juga di bawah lagi sekarang tinggal mengambil celana dalam itu yang pasti sudah di tinggalkan anjingnya di lantai.

Mataku langsung cepat menyapu lantai mencari benda itu sebelum terlihat pak Didit. Aku sedang sibuk memeriksa lantai ketika pak Didit datang lagi sambil berkata,

“Ini punyamu ya?” ditangannya terjulur sebuah celana dalam merah ku yang sudah basah kuyup dan penuh gigitan. Ini sangat memalukan masak celana dalam saya di pegang pak Didit terus basah lagi.

“Iya pak, semua itu gara-gara anjing bapak, terima kasih pak,” jawabku gugup sambil menyambar benda itu dari tangan pak Didit.

“Nanti bapak ganti deh, maafkan anjing bapak” kata pak Didit sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Berdiri di depan pak Didit dengan rok sependek ini dengan kenyataan tidak mengenakan celana dalam membuatku terangsang lagi. Cairan kemaluanku pasti menetes ke lantai nih, “Oohhh aku sudah tidak tahan lagi” pikirku dalam hati.

Benar aja dugaanku tiba-tiba setitik cairan menetes kelantai di iringi tetes berikutnya. Hal ini terlihat jelas oleh pak Didit yang kebetulan sedang menunduk.

“Oh, kamu pingin pipis ya? Itu ada kamar mandi. Bapak tidak punya celana dalam wanita buat gantinya tapi kalau mau bapak ngajak kamu ke mal untuk beli gantinya sekarang,” tawar pak Didit.

Saya tidak menjawab langsung aja ngeloyor ke kamar mandi. Pak Didit memandangku sampai aku masuk ke kamar mandi.

“Bapak-bapak boleh keluar sekarang” ucap pak Didit.

Tampak dari sebuah ruangan sebelah yang dibatasi kaca cermin 1 arah keluarlah beberapa orang laki-laki setengah baya. Salah satu dari mereka tampaknya kaya dan peranakan tionghoa. Kelihatannya Ia businessman yang sukses. Sedangkan yang lain kelihatan adalah kaki tangannya.

“Pak Bobi, bagaimana anjing saya pak? Anjing ini khusus di latih di Eropa untuk meniduri wanita yang ditemuinya sangat hebat dan ahli di bidangnya. Tawaran saya 750 juta masuk akal sekali kan pak?” jelas Pak Didit.

“Seperti yang telah bapak saksikan sendiri dia dari belakang cermin tadi, anjing-anjing tersebut mampu mendekati dan melakukan inisitiaf sendiri, mereka bisa mencium bau kemaluan wanita dari jarak berkilo-kilo jika bapak mau pun dia bisa berhubungan seks dengan wanita tanpa perlu di bimbing asal wanita tersebut tidak melawan dan telanjang,” lanjut pak Didit jelas.

“Okelah kita deal aja yang penting kamu harus kasih saya 1 show sebagai complimentary dan sekaligus melihat kemampuannya,” Pak Bobi berkata sambil menepuk pundak pak Didit,

“Dan saya mau wanita tadi yang dipergunakan dalam show itu, dia tampak putih dan merangsang serta seksi saya suka dia,” lanjut pak Bobi.

Pak Bobi langsung pamit dan keluar di depan sudah menunggu sebuah BMW seri 7 terbaru berwarna hitam gress dengan supir yang berpakaian putih-putih. BMW itu melaju cepat meninggalkan kediaman pak Didit.

Sementara itu Jane sudah selesai mencuci dan mengelap kering kemaluannya yang basah akibat jilatan anjing tersebut. Celana dalam itu tidak jadi dipakai kembali karena jijik dengan ludah dan lendir dari anjing terebut, ia bahkan akan membuangnya jika sudah dapat yang baru.

Tentu saja ia suka dengan ucapan pak Didit yang berjanji untuk menggantinya dengan yang baru. Ia keluar dengan rok tanpa celana dalam. Terasa dingin karena angin bertiup di bawah kemaluannya. Ide mengenai jalan-jalan di mal tanpa mengenakan celana dalam cukup memalukan rasanya apalagi lelaki yang menemaninya mengetahui hal itu. Tapi tidak ada pilihan lain demi tes yang harus di kerjakan hari ini. Demi kelulusan yang dia cita-citakan selama ini.

Pak Didit menghampiri dia sambil membawakan segelas besar juice leci yang tampaknya enak dan dingin.

“Sebagai rasa bersalah saya ini hidangan sekadarnya, maaf kalau tidak ada makanan, nanti keluar makan aja sekalian sekarang di minum dulu lalu saya tunggu di mobil” tukas pak Didit.

Aku minum dengan cepat sampai tumpah sedikit di kemejaku tepat di bagian payudara sebelah kiri rasa dingin langsung menyergap ke dalam. Aku tidak sempat ke kamar mandi lagi langsung kulap saja pakai tangan dan berlari ke mobil yang sudah menunggu di depan.

SubChapter 1c. Di mal, permainan di mulai.

“Kamu ulang aja tahun depan ya” ucapan pak Didit membuyarkan keheningan di mobil, “Maaf walau ada kejadian tadi tapi semuanya kan berawal dari keterlambatan kamu” lanjutnya.
“Saya harus lulus apapun caranya” pintaku. Apapun caranya.
“Kalau begitu nanti tesnya lisan aja di mal ok, kan kamu bilang apapun caranya” tawar pak Didit.
“Ok” kataku cepat seolah tidak ingin dia berubah pikiran.

Begitu turun dari parkir aku langsung berjalan menuju department store sementara pak Didit ikut di belakangku. Pak Didit mengisyaratkan agar Jane mengikuti dia dan seolah sudah tahu jalan pak Didit langsung menuju ke tempat penjualan underwear di department store tersebut.

Agak kagum namun di telan aja kekaguman itu, perhatian Jane tertuju di setumpuk celana dalam yang bermerek sama dengan BH nya saat ini. Ia sudah menemukannya ketika seorang pelayan mengatakan bahwa celana dalam tersebut boleh di coba di kamar pas. Hal itu sedikit aneh bukan? Seharusnya celana dalam tidak boleh di coba? Ah tapi persetan dengan keanehan itu yang penting aku sekarang sudah kedinginan dan sudah mulai terangsang lagi.

Kamar pas itu pas di sudut dengan cermin di dua sisi. Agak sempit tapi cukup terang berlantai karpet. Ia mengunci pintu dengan baik dan mulai membuka roknya. Tampak kemaluannya menyembul sedikit berwarna kemerahan dan tampak basah mengkilap dibawah siraman lampu. Ia mengangkat sebuah kakinya ke atas sebuah dudukan yang ada di ruang ganti tersebut sambil memeriksa kemaluannya yang basah. Rambut kemaluannya nampak cukup lebat dan subur sekali. Kemaluannya memiliki bibir yang mungil yang mampu mengundang semua “kumbang” untuk berduyun-duyung mengerubunginya. Bukan hanya “kumbang” bahkan mungkin kumbang juga akan berduyun-duyun mengerubunginya, mungkin siapa tahu. Bau lendir dari kemaluan sangat khas sekali setiap cewek bisa mempunyai bau yang berbeda namun seorang yang ahli dapat tetap membedakan mana bau dari kemaluan mana bau dari ketiak.

Setelah di usap-usap sampai tampak kering barulah ia mengenakan celana dalam tersebut. Astaga celana dalam itu seksi sekali di pinggulnya, kenapa tidak terpikir dari dulu ya? Dia berputar-putar sejenak untuk memastikan semuanya benar dan melangkah keluar tanpa membukanya lagi. Sampai di depan tampak pak Didit lagi bercakap-cakap dengan sang pelayan tersebut. Pak Didit memberi kode apakah cocok dan ia mengiyakan, selanjutnya uang pun berpindah tangan ke laci kasir.

“Sekarang ayo kita makan sebelum tes di mulai” perintah pak Didit sambil menggandeng tanganku, reflek aku menarik tanganku tapi kembali di pegang pak Didit kali ini agak keras sehingga aku takut dan menurut aja tokh habis ini selesai sudah.

Kami makan di sebuah cafe yang memiliki kursi sofa berbentuk L dan tampak sangat private mungkin karena suasana cafe yang agak remang-remang dan orang yang tidak banyak mungkin hanya 3 meja yang ada penghuninya kebanyakan adalah pasangan muda. Kami memilih meja di sudut dan mulai memesan makanan. Pak Didit memesan steak ayam dengan segelas nescafe dan aku memesan salad semangka, nasi goreng special dan Lemon Tea. Aku betul-betul lapar sehingga begitu di tawari makanan ini aku mengangguk aja. Aku sedang menunggu pesanan ketika tiba-tiba aku merasa ada tangan di bawah rokku.

Tangan pak Didit yang kasar meraba pahaku yang mulus. Aku mau berteriak tapi tidak enak kalau Cuma pak Didit tidak sengaja benar kan. Aku memandang pak Didit ketika tiba-tiba pak Didit menciumku. Aku langsung kaget dan mundur sambil berkata

“Maaf, Bapak jangan begitu” tapi pak Didit membalas dengan mengatakan bahwa tes nya akan saya beri sekarang.

Tiba-tiba terpikir bahwa bisa saja tes di ganti dengan pelukan dan kencan kilat seperti yang biasa di halalkan di kalangan dosen tertentu. Ah menurut sajalah.

Tangan Pak Didit mulai merajalela dan semakin ke atas meraba daerah kemaluanku. Kontan aku basah lagi karena merasa nikmat dan geli, aku mulai menuruti permainan pak Didit ketika aku tersadar kami sedang ada di mal, di dalam cafe dan sedang menanti makanan, dan mungkin saja ada orang yang melihat.

Saya berusaha memberitahu dan melihat kalau-kalau ada yang melihat tapi sia-sia. Jari pak Didit sudah berada di dalam celana dalamku di gosok-gosokan ke kemaluanku yang basah. Rangsangan yang diberikan semakin hebat aku mulai tenggelam dan merintih nikmat.

Tiba-tiba Pelayan entah bagaimana sudah ada di dekat situ. Bagaimana kalau dia melihat kami berciuman? Ah itu sudah jelas dan mungkin lumrah. Tapi bagaimana kalau ia melihat tangan pak Didit berada di bawah rok ku? Tiba-tiba semua kembali biasa lagi pak Didit dan aku menerima makanan kami dan mengucapkan terima kasih.

Pelayan itu meninggalkan kami sesaat kemudian. Pak Didit kemudian menunjukan jarinya yang basah oleh lendir kemaluanku. Basah sekali sampai aku kaget dan malu apa iya aku jadi sebasah itu. Lendir itu betul berbau khas ketika di dekatkan ke hidungku. Aku malu sekali belum pernah semalu ini di depan umum. Apalagi ketika pak Didit mencium bau lendir tersebut dekat hidungnya. Dunia rasanya mau runtuh aja. Tiba-tiba pak Didit tersenyum dan menatapku dan berkata kamu lulus tes nomor satu.

Tiba-tiba entah kenapa aku pingin pipis setelah selesai makan, mungkin karena cairan yang aku minum terlalu banyak sejak tadi. Aku mengatakan hal itu kepada pak Didit dan meminta izin kebelakang. Pak Didit mempersilakan aku langsung lari ke kamar mandi terdekat. Eh.. Ternyata sesampaiku disana kamar mandinya sedang out of order karena mungkin sedang di bersihkan, aku tidak menyerah dan naik ke lantai berikutnya yang ini juga out of order. Sementara otot lubang kencingku mulai berteriak-teriak seperti lagi kebakaran,

“Tolong kucurkanlah airnya, siram api itu” kalau andaikata otot tersebut bisa bicara.

Sepertinya kencingnya sudah diujung mau meluncur keluar ketika aku sedang menaiki eskalator ke lantai berikutnya, disini malah kamar mandinya tidak ada. Akhirnya dengan langkah gontai dan menahan pipis yang semakin mendesak aku kembali ke cafe dengan harapan pak Didit mengetahui letak toilet yang lain. Pak Didit masih minum kopi ketika aku sampai dan langsung duduk kembali.

“Semua toilet rusak pak” jawabku putus asa.
“Buka saja celana dalammu dan pipis disini” kata pak Didit ringan seolah-olah jawaban itu sangat bijaksana.

Wajahku memerah seketika mendengar jawaban itu, malu rasanya saking hebatnya sampai-sampai pipisku muncrat sedikit.

“Bagaimana mungkin pak” Jeritku pelan,
“Buka dulu celana dalam kamu dan taruh di atas meja” perintah pak Didit.

Hatiku langsung berdegup kencang dan wajahku menjadi semakin merah. Tapi aku takut dan mengikuti aja pak Didit. Aku mengangkat rokku sedikit dan melucuti celana dalam ku sambil duduk sambil berharap cemas tidak ada orang di cafe itu yang tahu. Celana dalam itu kuserahkan ke pak Didit yang kemudian di taruh di atas meja. Selanjutnya aku menunggu instruksi pak Didit. Pak Didit mengambil gelas kosong bekas lemon tea yang tadi kuminum dan menyodorkannya ke aku, sambil berkata,

“Kamu pipis aja ke gelas ini, tokh tidak ada yang tahu kalau itu lemon tea atau pipis kamu”.

Hatiku langsung copot mendengar perintah itu. Tapi ya mungkin itu satu-satunya jalan. Meja tempat kami duduk bukan tipe tertutup cuma saja karena kursi sofa sehingga posisi meja menutupi ku sampai batas dada dan juga meka tersebut cukup lebar Ya cukup tertutup dan rendah sehingga orang tidak mudah melihat apa yang terjadi di bawah meja tapi kalau ada yang menjulurkan kepala di bawah meja pasti akan terlihat pemandagan indah.

Aku menerima gelas tersebut dengan tangan gemetar selanjutnya aku memposisikan duduk ku ke ujung kursi agar bisa meletakan gelas di bawah kemaluanku. Aku tidak berapa jelas dimana posisi gelas apakah sudah tepat atau belum yang pasti aku harus membuka paha agak lebar, tangan kanan ku memegang gelas dan tangan kiri ku membuka bibir kemaluanku lebar-lebar, gelas kuposisikan tepat di mulut bibir kemaluanku dan tiba-tiba pak Didit berkata,

“Jangan pipis dulu jaga aba-aba dari saya, dan jangan pipis terlalu kuat bunyinya itu lho bisa memancing perhatian orang,”

Saya kemudian memandang sekeliling tampak ada beberapa laki-laki yang duduk berhadapan tapi tidak memperhatikan kami. Andaikata mereka menundukan badan kebawah sudah pasti mereka melihat jarak meja kami Cuma 1,5 meter saja. Mereka tepat berhadapan dengan kami, tadinya mereka tidak ada entah kenapa bisa berada di situ.

“Oke Jane, kalau sudah siap saya hitung sampai 3 dan kamu mulai pipis, 1.. 2.. 3” demikian aba-aba dari pak Didit.

Aku pipis dengan perlahan tapi stabil, muncratan pertama agak keluar dan membasahi jariku dan mungkin juga lantai, tapi begitu pipis keluar lancar sudah tidak tumpah lagi.

Aku betul-betul sudah tidak tahan lagi terlambat semenit pasti aku sudah pipis di kursi sofa tersebut. Tiba-tiba pak Didit memanggil pelayan di meja sebelah, aku baru mengeluarkan 1/3 dari seluruh kencingku, ketika pelayan tersebut dengan sigap mendatangi mejaku.

Tiba-tiba aku sadar celana dalamku sudah tidak ada di atas meja. Celana dalam tersebut berada 1/2 meter di depan mejaku siapapun yang mengambilnya akan tahu aku sedang pipis ke dalam sebuah gelas, dan dia pasti akan mendapatkan pemandangan yang sangat indah.

Bibir kemaluan yang terbuka, gelas yang berisi separuh cairan pipis kekuningan, dan lubang kemaluan yang memancarkan pipis kekuningan, pertunjukan yang cukup indah bukan hanya untuk kelas cafe,

“Tolong ambilkan celana nona ini jatuh di depan itu pak” pak Didit meminta tolong pelayan untuk mengambil celana dalam yang jatuh di depan meja kami.

Pelayan itu membungkuk dan mengambil celana dalam itu. Semua terjadi begitu cepat sampai aku tidak sempat menghentikan kegiatan ini.

Dalam hati aku mau pingsan aja, pasti pelayan itu melihat aku pipis, oh tidak, pelayan itu kemudian berdiri dan sambil tersenyum sambil menyodorkan celana dalam itu ke saya, kedua tangan saya sedang sibuk di bawah ketika saya disodori celana dalam itu.

Pelayan itu wajahnya merah karena malu dia kayaknya kaget sekali ketika tadi memungut celana itu.

“Taruh aja di meja itu, terima kasih pak” jawabku menahan malu dan mukaku merah.

“Kamu ini bagaimana sih Yes, masak orang sudah angkat barang kamu, kasih baik-baik masak kamu suruh taruh di meja itu kan celana dalam yang tidak sepatutnya berada di meja” sergap pak Didit,

“Terima dengan kedua tangan kamu, berdiri dan membungkuk sendikit sambil mengucapkan terima kasih, ayo cepat!!” lanjut pak Didit setengah marah-marah.

“Tapi..,” kencingku meluncur lebih deras dan tidak berdaya, tanganku tidak mungkin kuangkat, Aku sadar pak Didit sedang mempermalukan ku di depan pelayan ini.

“Tapi saya tidak bisa pak” pintaku memohon.

“Ya, sudah selesaikan dulu kerjamu baru terima celana itu dan lakukan seperti yang saya perintahkan” lanjut pak Didit penuh wibawa.

Rasanya seperti setahun ketika akhirnya aku selesai memuntahkan seluruh kencing ke dalam gelas, tepat segelas penuh. Aku jadi sadar gelas ini harus kuangkat ke atas meja supaya kedua tanganku kosong. Aku mengangkat gelas itu dengan gemetar kutaruh di atas meja dan kemudian aku berdiri dan menerima celana dalam itu dan mengangguk terima kasih.

Pelayan itu sepertinya melihat semua yang terjadi ketika dia tersenyum penuh arti kepadaku sambil menyodorkan celana dalam tersebut.

“Minumannya sudah tidak diminum lagi non, biar saya angkat” pelayan itu berkata penuh arti seolah-olah tidak tahu apa-apa.

“Sabar dulu belum habis diminum, ada apa buru-buru, ayo Jane, habiskan dulu minuman kamu” Pak Didit berkata seolah tidak terjadi apa-apa juga.

Jane langsung syok begitu melihat segelas penuh kencingnya sendiri dalam satu-satunya gelas yang berisi “minuman”. Matanya menoleh ke pak Didit sambil berharap pak didit tidak memaksa dia untuk meminum “minumam” dalam gelas itu.

“Ayo habiskan kalau kurang manis bisa tambah gula” sambil mengambil sedotan di atas meja dan memasukan nya ke dalam gelas tersebut.

Aku malu sekali harus meminum air kencing sendiri dalam gelas tinggi yang di beri sedotan lagi dan bukan saja itu melainkan di saksikan juga oleh 2 orang yang satu bahkan aku tidak tahu namanya dan mereka juga tahu bahwa itu adalah air kencingku sendiri.

Tanganku gemetar memegang gelas yang hangat dan memasukan sedotan ke mulutku. Rasanya seperti berabad-abad dan kedua orang di depanku menunggu dengan penuh senyuman melihat aku minum.

Rasanya sedikit asin dan baunya sangat pesing. Warnanya kuning dan penuh busa. Nasi goreng di perutku rasanya mau keluar semua ketika cairan kuning itu mulai membasahi tenggorokanku dan lambungku.

Minum segelas penuh rasanya lama sekali bahkan aku di paksa menghisap sampai habis tuntas dan menjilat gelas tersebut. Pelayan tersebut mengambil gelas tersebut dan diangkat ke atas sambil berkata

“Wah, nona ini hebat ya minumnya, mau tambah lagi”

“Tiiidak..,” Tangisku.

Kami membayar lalu keluar dari cafe diiringi ucapan terima kasih dari pelayan tersebut sambil berkata

“Lain kali datang lagi ya”.

Aku hampir pingsan ketika pelayan tersebut membisikan sesuatu ke telingaku.

“Gelas itu tidak akan pernah ku cuci akan di taruh di atas pajangan dan di beri tulisan ‘Jane meminumnya sampai Habis’ tiap kali kamu datang aku akan menceritakan peristiwa ini kepada tamu yang ada”.

Cerita Birahi Sex Perawan Sepupuku

Cerita Birahi Sex Perawan Sepupuku

Ini adalah kisah pengalaman pribadiku dengan sepupuku Endah. Gadis muda belia yang kuperawani hingga darah keperawanannya kulihat mengucur dari kemaluannya. Tak kusangka semua ini akan terjadi, namun nasi sudah menjadi bubur, aku bisa apa.. beginilah ceritaku….

Perkenalkan namaku Gilang, umurku masih 22 tahun. Kejadian ini bermula ketika keluarga besarku semua berkumpul karena suatu tradisi setahun sekali keluargaku pasti berkumpul bergiliran dimasing-masing rumah. Naaah dalam kumpul kali ini, keluarga besarku memutuskan untuk pergi muncak. Dan setelah semua setuju, akhirnya keesokan kita semua-pun langsung berangkat kepuncak.

Karena kita berangkat dari rumah sudah hampir sore, maka kita sampai puncak tengah malam. Sampai di villa, kita semua langsung istirahat karena kelelahan dalam perjalanan. Keesoakn harinya, aku dan sepupuku yang bernama Endah duduk diteras sambil mengobrol.

Sedikit gambaran tentang Endah, dia orangnya tinggi seperti aku sekitar 168cm dan Endah memiliki tubuh yang sangat indah dengan buah dada yang cukup besar sekitar 36B, pantat yang bulat padat, kulitnya putih mulus, rambutnya hitam panjang, serta pinggang yang begitu langsing, hingga Endah terlihat sangat perfect.

“Nanti malam acaranya ngapain kak??” ujar Endah

“Mungkin pada karaokean dek, lha kenapa dek???” tanyaku

“Aaaahh…enggak papa kok kak, Cuma tanya aja” jawabnya sambil tersenyum

“Aaahhh…gak mungkin kalau gak ada apa-apa, kamu BT yaaa???” tanyaku mendesak

“Iya kak, nanti kalau karaoke pasti aku disuruh nyanyi sama papah” jawab Endah jujur

“Yaudah bilang aja sama papah kalau kamu lagi gak pengen nyanyi. Emang kamu sendiri pengen ngapain say?” (aku dan Endah sudah biasa manggil sayang-sayangan meskipun didepan keluargaku)

“Nggak…Pokoknya lagi pengen bebas ajah…Lagi gak pengen disuruh-suruh” ujar Endah ketus

“Oooo…Terus kamu lagi pengen ngapain dong say?” tanyaku lagi

“Gimana kalau kita jalan-jalan aja pake mobil. Nanti aku minjem mobilnya papah ajah. Nanti kamu yang nyetir” ujar Endah

“Oke aja dech. Tapi jam berapa? Soalnya jam lima aku mau nata makanan” tanyaku

“Jam 8 nan aja yah kakakku sayang, jadi kita sama-sama sudah gak ada kerjaan. Setuju?”

“Okey deeehh”

Pukul lima sore aku langsung menuju kamar Endah. Kuketok pintu kamarnya 4 kali, terus aku belakangin pintu. Tak lama kemudian Endah membuka pintu, Endah menyuruhku masuk.

“Kak, kunci pintunya donk, akuu mau mandi. Kakak udah mandi belom?” Ternyata saat itu Endah cuma pakai handuk waktu kubuka pintu kamarnya

“Udah lah, masa mau jalan-jalan gak mandi? Emang kenapa mau mandi bareng?”

“Boleh… yuk!” Jawab Endah antusias

“Gak aaahh, orang becanda juga, aku baru mandi tau”

“Yaudah…aku mandi dulu ya. Kamu tunggu bentar yah… Kalau mau pakai laptop pakai aja, itu ada didalam tas. loginnya Erma passwordnya ******”

“Okeeyy” Abis itu Endah nyium pipiku

Masih anget nih laptop. Begitu kubuka laptop dan login masuk, mucullah notepad yang isinya :

“Kak, liat keluar jendela deh, jalanan macet banget. Gak usah jalan-jalan yah…Ooo iya, kayaknya view dari kamar kamu lebih bagus deh. Nanti bawa laptop aja kesana. Jadi kita ngobrol sambil denger lagu”

Kok pakai pesen segala sih, kenapa tadi gak ngomong langsung saja tadi. “Aku masih belom curiga, soalnya aku mikir, sepupuku ini ngapain mikir yang enggak-enggak”

“Dek, jendela kakak buka yah. Kakak mau ngerokok. Ooo iya minta rokok ya. Rokok kakak ketinggalan dibawah” Teriakku didepan pintu kamar mandinya Endah

“Pakai aja kak, rokokku ada didalem tas kecilku”

Tak berasa sudah 4 batang malboro merah punya Endah habis. Soalnya aku maen game flash yang ada dilaptop Endah sambil dengerin mp3 koleksinya sepupuku.

Endah keluar dari kamar mandi. Loh? Kok bugil?

“Ehhh Erma malah telanjang Jalan-jalan lagi…” Celetuku

“Aaahh, biarin aja. Kakak ini yang ngeliat” Aku cuma bisa geleng-geleng aja

Seketika itu aku konak gara-gara liat puting merah muda indah dan meki tanpa rambut kemaluan yang sangat harum sekali

“Udah baca kan pesenku? Itu loh yang di notepad tadi?” Tanya Endah

“Ooooww…sudah kok. Kenapa kamu gak bilang dari tadi? Ya udahlah, ayo kekamarku”

Aku jalan duluan nenteng laptop Endah ditangan kanan, sambil megang rokok ditangan kiri. Habis kubuka kamarku, kutaruh laptop dimeja lalu kucolok kabel speaker aktif kecil yang kubawa dari rumah.

Tak lama kemudian Endah masuk, lalu Endah langsung nutup dan mengunci pintu kamarku.

“Kok dikunci dek?” Tanyaku sedikit bingung

“Biar gak ada yang gangguin” Jawabnya manja

Seraya mendengarkan musik, Endah narik tanganku, yang otomatis aku jadi balik badan. Kemudian Endah nyium bibirku sambil berkata,

“Ajarin aku ML dong kak”

“Beneran? Yakin? Kamu gak salah?” candaku sambil tertawa

“Emang aku keliatan lagi becanda ya kak?? Mending minta ajarin sama kakak”

Gak pake mikir lama lagi, langsung saja kukecup bibirnya.

“Aku ajarin pelan-pelan yah” bisikku

Tanpa komando, Endah langsung membuka semua pakaian yang nempel ditubuhnya. Aku juga gak mau kalah, dalam hitungan detik aku sidah telanjang. Perang bibir-pun dimulai lagi. Pelan-pelan bibirku pindah dari bibir ke telinga, kujilati telinga dan sesekali kugigit kecil. Endah cuma bisa mendesah. Begitu jilatan kupindah kebagian belakang kupingnya, reflek Endah megang pinggangku. Sementara Endah menggelinjang, bibir dan lidahku mulai berjalan menuju bagian belakang leher yang kemudian kembali kearah leher dan segera turun ke bagian dada.

Tangan kiriku mulai beraksi dipayudara kirinya sementara tangan kananku bermain dimemek Endah. Sesekali aku bangkit untuk mencium bibir Endah. Sekarang aku mulai menjilat lubang pusar Endah. Tak ayal Endah-pun memegang rambutku karena kegelian.

Kemudia kuminta Endah untuk duduk diatas tempat tidur yang sudah aku kasih alas pake handuk bekas mandiku tadi. Kuminta Endah ngangkang dan kukecup lembut memeknya.

“Baru kucukur tadi loh kak, jadi bagus kan?” ucap Endah

“Udah bagus, wangi pula…” jawabku

Tanpa panjang lebar, mulailah lidahku berkelana dipintu vagina Endah sepupuku sendiri. Saat lidah dan bibirku menjamah klitoris miliknya, Endah sembari menggelinjang menjambak rambutku dan mulai berdesis nikmat.

“sss… ssh… don’t stop please… don’t”

Mendengar desahan Endah, aku semakin nafsu untuk menjilat dan menyedot cairan dari memek Endah yang sudah dari tadi basah. Dan aku mulai mencoba variasi jilatan plus permainan jari didalam vagina Endah. Sekitar 7 menit kemudian, Endah menggelinjang hebat karena telah meraih kenikmatan tiada taranya untuk yang pertama.

“Kak, aku mau nyobain punya kamu donk” ujarnya

“Kamu bisa mainin ini pake mulut kamu gak?” Sembari menunjuk k0ntolku yang sudah menghitam karena kerasnya aliran darah

“Ajarin…” Jawabnya dengan nada manja

“Kamu jilat dulu” Pintaku sambil tiduran disamping Endah

Lalu Endah bangkit dan membungkuk meraih k0ntolku dan mulai ngejilat perlahan.

“Sekarang kamu emut deh” Pintaku

“Muat gak nih?” tanya Endah (Maklum k0ntolku cukup besar dan panjang dari standar orang Indonesia)

“Setelah k0ntolku masuk kedalam mulut Endah yang lama-lama nafsuin ini, kuminta Endah sesekali pake lidahnya juga. Setelah kurang lebih 5 menit k0ntolku disedot-sedot, kuminta Endah untuk menghentikan aktifitasnya itu. Kuminta Endah tiduran, kemudian kulingkarkan kaki mulusnya itu dipinggangku. Pelan tapi pasti, kuarahkan penisku kedepan vagina Endah.

“Pelan-pelan kak, akuu masih perawan” Aku cuma bisa ngangguk… “KAMPREEET… Bisa bentar doang nih… Perawan pasti masih peret…” Pikirku

Perlahan kumasukin dan ternyata benar, sempit banget namun aku tetep jaga pikiranku biar gak terlalu kebawa nafsu. Kalo nafsu semua gak nyampe 2 menit juga keluar. Sekitar 2 menit prosesi sakral itu berlangsung, Aku ngerasa kayak ada yang menghalangi k0ntolku ini menuju sasaran.

Kami ciuman sembari kutekan sedikit lebih keras penisku. Tiba-tiba lidahku digigit sama Endah,

“Saa…kit…” rintihnya sambil menitikan air mata. Tembus nih

“Kucabut aja yah” Gak tega juga nyakitin adek sepupu sendiri

Ditahannya badanku pake kakinya waktu mau kucabut k0ntolku dari vaginanya.

“Katanya sakit?” tanyaku

“Gak papa, yang penting kakak seneng” jawabnya

“Bener nih?” tanyaku lagi

Endah cuma ngangguk, sambil nyium Endah, kutekan lagi perlahan sambil kumainkan toket putih dan klitorisnya yang berwarna merah itu. Sekitar 5menit kemudian, Endah menjerit kecil. Ternyata sudah mentok.

Kujilat leher dan telinganya sambil perlahan kugoyang k0ntolku keluar masuk. 5menit berlalu saat Endah mendesah dan meracau

“Faster please, sakit… tapi… enak…” Endah menjerit kecil saat k0ntolku mentok dirahimnya

Lalu kuperlambat gerakanku. Masukin pelan-pelan, tapi mundur seketika, maju pelan-pelan, mundur secepat kilat. Endah terlihat menikmati sensasi yang kubikin barusan. Ternyata hal itu bikin Endah semakin liar. Sejurus kemudian Endah sepupuku yang menggairahkan terlihat darah perawannya mengalir pada pahanya ketika kubalikkan badanku. Akhirnya… Posisi yang kusuka, Cerita Sex

Kayaknya gak sampai 10 menit, Endah sudah kayak profesional aja nih. Sedotannya mantap, tarikannya kenceng. Ah… Bisa mati konak sebelum cum nih pikirku. Keringat bercucuran dikamar yang berudara dingin puncak itu. Keliatannya Endah sudah mau keluar nih. Karena sedotan vaginanya semakin kenceng dan temponya semakin cepat. Suara-suara nafsu-pun mulai menggema dikamarku yang cukup besar dan agak terpencil… Kurasa penisku kayak disedot pake vacuum cleaner. Rasanya kenceng banget! Ternyata Endah baru saja keluar. Endah terkulai lemas diatas badanku.

“Say, sekarang gantian yah. Aku berasa nanggung nih” pintaku

“Terserah kamu kakakku sayang” balasnya

Tanpa basa-basi, kurubah posisi Endah sehingga nungging didepanku. Posisiin tanganku dipinggang Endah sepupuku yang cantik dan menggairahkan. Dan mulai kugenjot dari belakang. Setiap kali k0ntolku mentok, Endah menjerit kecil. Dan Endah mulai bermain dengan klitoris miliknya sendiri. Sekitar 10 menit kugenjot vagina Endah, kurasa aku pengen keluar nih.

“Saay, kamu mens kapan?” Tanyaku tanpa putus genjotan bahkan mempercepatnya

“Aaahhh… 2 ha… aw… 2… hari… ah… lagi… kena… knapa?” balas Endah sambil terus mendesah

“Kakak… dah… mau… keluar…” Erangku

“Ters… ss… serah… kakak”

“Hamil, hamil deh. Bodo amat” Pikirku

“Saayyy… kakak… mau… keluaaarr… Aarrgh…” aku menjerit kecil

Kumentokin dan kutancepin dalem-dalem k0ntolku. Dengan tanganku masih dipinggang Endah, kutarik pinggang Endah kearahku hingga menimbulkan rasa mentok yang luuarrr biasa. Endah menjerit sambil menitikan air mata saat kukeluarin pejuhku didalem vaginanya. Kulonggarkan peganganku dipinggangnya setelah tetesan pejuhku yang terakhir.

Aku duduk disamping Endah dan nyium dia.

“I’am sorry, sorry if i’d cum inside of you”

“Gak papa, kalaupun aku hamil, kita nikah aja sekalian ya kak”

Sambil kujilat air matanya, dia bisikin sesuatu,

“Say…terakhir itu sakit tapi bisa bikin aku puas banget loh saayy. Kapan-kapan kita ulangin lagi ya. I love you”

“I love you too my sweety…Emmmuuaaccchhh”

Cerita Birahi Sex Penjual Kopi Bahenol

Cerita Birahi Sex Penjual Kopi Bahenol

Perkenalkan namaku Rudi, diumurku yang baru 20 tahun ini seharusnya aku bisa menikmati masa remajaku bukan bekerja seperti aku sekarang ini. Karena keterbatasan ekonomi keluargaku, aku harus membantu kedua orangtuaku dalam memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Sudah sekitar setahun aku menajdi tukang ojek pangkalan yang lumayan jauh dari rumahku. Dan dari setahun itulah, aku barumendapatkan sebuah pengalaman pribadiku yang sangat aku tak menyangka. Aku bisa menikmati tubuh penjual mie rebus yang sangat bahenol. Uuuugghh..sungguh sangat pengalaman yang sangat indah. Begini ceritanya…

Malam itu kurasakan ngantuk sekali, namun mau gimana lagi, aku harus bekerja untuk membantu orangtuaku. Yaaahh resiko sebagai tukang ojek, yang pada umumnya orang pada tidur pulas naaahh aku malah bekerja mengais rejeki. Setelah aku bergegas, kemudian aku menuju pangkalan tempatku mangkal setiap harinya. Saat keluar rumah, kurasakan udara sangat dingin sekali sepertinya mau hujan. Dan seperti dugaanku, belumsampai aku dipangkalan, hujan turun dengan derasnya. Yang kemudian aku mencari tempat untuk berteduh disebuah warung kopi. Saat aku masuk diwarung kopi tersebut, kulihat warung dalam keadaan sepi sekali. Kemudian aku memesan secangkir kopi dan semangkok mie untuk mengisi perutku yang sudah keroncongan.

Setelah cukup lama aku menunggu, akhirnya tibalah secangkir kopi yang aku pesan dan penjual kopi tersebut berkata,

“Eeehhh…mas, maaf bisa minta tolong pasangkan kabel gas???” ujar penjual kopi tersebut seraya menghampiriku. Dan Oh my good…sungguh terkejutnya aku saat mataku menyaksikan seorang wanita tinggi putih hanya memakai tangtop warna putih dengan belahan dada yang begitu dalam.

“Maaaas?” ujar sipenjual kopi tersebut lagi yang mengagetkanku

“Ooohh bisa bisa mbak, dimana?” jawabku dengan sedikit salah tingkah dan kemudian akupun mengikutinya kedapur dan langsung memasangkan kabel gas. Setelah selesai akupun kembali duduk dan tak lama aku menunggu pesananku datang dan aku makan ditemani penjual cantik itu sambil ngomong ngalor ngidul.

“Mbak, ga dingin apa ujan gini cuma pake tengtop begituan?” kataku

“Gak kok mas” jawabnya sambil tersenyum

sambil terus makan, mataku tak henti-hentinya melihat payudaranya yang begitu indah, besar putih dengan ukuran yang sangat pas dengan tubuhnya hingga tak kusadari burungku sudah ngaceng berat dan aku tak kuat lagi ingin sekali aku mengenyot payudara montok itu.

“Mas, aku kedalam dulu ya” ujar mbak penjual dan kemudian dia masuk kedapur dan akupun yang sudha sangat bernafsu kemudian mengikutinya dari belakang

Saat sampai didapaur, langsung saja aku menyekapnya dari belakang dan dia-pun berontak dan aku langsung meremas kedua toketnya dari belakang sambil kujilati leher belakangnya. Sementara dia masih meronta namun terselip desahan-desahan yang keluar dari mulutnya.

“jangan mas…Aahh jangan mas!” pinta wanita itu

“Udah sayang nikmati saja” balasku

“Aaahhh…mas jangan mas” dia tak lagi meronta hanya terdengar desahan keluar dari mulutnya

Langsung saja kubawa dia keluar dari dapur dan langsung kurebahkan tubuhnya diatas meja makan gak peduli sekalipun ada yang lihat. Aku mulai melucuti pakaiannya hingga dia benar benar bugil diatas meja, air liurku menetes saat didepanku terlihat vagina yang begitu merah dan akupun langsung membuka pahanya dan langsung kusedot vaginanya yang sangat indah itu.

“Aaaahh.. Jangan mas! Enak.. Ahh… Terus mas..! Ah… Jangan” dia terus meracau tak karuan

Setelah puas menjilati vaginanya, langsung saja kubuka seluruh pakaianku hingga akupun sekarang juga bugil. K0ntolku sudah ngaceng sekeras-kerasnya. Langsung kusodorkan k0ntolku kemulutnya. mulanya dia menutup mulutnya, kemudian kupencet putting susunya dengan keras hingga dia menjerit dan saat dia membuka mulutnya, langsung kubenamkan k0ntolku kemulutnya dan kupompa dengan cepat. Cerita Ngentot

“Aaaaahh.. Enak sekali mulutmu mbak…anget.. Ayo terus mbak! Sedot terus ah…” sekarang aku yang meracau gak jelas

Kucabut k0ntolku dan kuarahkan kevaginanya, kuludahi dulu k0ntolku dan kumasukan k0ntolku kevaginanya dengan perlahan. Ooh sangat sulit dan dnega sedikit kupaksakan akhirnya “Sreeeet..” Suara itu terdengar saat k0ntolku masuk. Ternyata dia masih perawan. Oouhh kulihat dia mengeluarkan air mata sambil menggigit bibir bawahnya.- Nonton bokep indo ringan > indoasoy.com – Kemudian kumaju mundurkan k0ntolku didalam vaginanya. Ooohhhh …Hanya terdengar erangankami berdua.. Ooohh… Ahh…Ahh.. Keringat kumulai menetes ketubuhnya.. Ah.. Aku mulai tak kuasa, bentar lagi spermaku akan keluar. Kuentot dia dengan keras..
Aaah… Aaah.. Dan aaaaarhgh..Kubenamkan k0ntolku dalam-dalam dan spermaku menyembur dalam vaginanya.

Dia terus menangis dan aku gak peduli, aku langsung memakai pakaianku dan langsung pergi karena tanpa kusadari hujan sudah reda dari tadi dan gak lupa kutinggalkan lima lembar uang lima ribuan untuk membayar kopi dan mie plus-plus tadi.
Copyright © Alamat Jelas. All rights reserved.